Garut memang sudah terkenal dengan dodolnya yang
kini semakin inovatif dengan bermacam-macam rasa buah. Tapi kalau mau
mengenal lebih jauh, pastilah akan setuju kalau yang indah dari garut
bukan hanya dodol.
Talaga Bodas adalah salah satu bukti bahwa pesona Garut bukan hanya
dodol. Hari itu sabtu yang kedua di tahun 2009, kabut menutupi matahari
dari pandangan ketika saya tiba di bibir talaga bodas. Saya membiarkan
guide saya yang juga tukang ojek saya kembali ke Pos untuk menitipkan
sepeda motornya, sementara saya langsung sibuk membidikkan pemotret
Nikon berlensa standar di genggaman saya. Tidak ada orang lain yang
terlihat di sekeliling danau, sekalipun terdengar teriakan yang
bergaung, terpantul berulang kali di antara bukit-bukit yang
mengelilingi tempat itu.
Puncak-puncak bukit sudah mulai terselimuti kabut yang bergerak
turun, namun tidak terlihat tanda-tanda akan hujan. Ini masih baik,
walaupun langit tak tampak sama sekali, alam masih menyambut baik
kedatangan kami. Seluruh permukaan danau dan sekelilingnya masih
terlihat jelas untuk diabadikan ke dalam kartu memori data digital.
Namun saya harus bergegas sebab cuaca di gunung dapat berubah dengan
cepat.
Perjalanan menelusuri pantai talaga dimulai ke arah kiri. Kali ini
perkenankan saya menggunakan kata kiri kanan untuk penunjuk arah, bukan
utara selatan timur barat. Jalur pendakian yang berkelok-kelok telah
merusak sistem orientasi bawah sadar saya, apalagi sistem navigasinya.
Sementara matahari belum nampak, dan tak ada tumbuhan besar berlumut
untuk acuan arah timur-barat seperti yang diajarkan dalam kelas-kelas
Navigasi Darat atau Survival.
Hanya beberapa langkah mengikuti tepi telaga, semburan air hangat
dari bawah pasir disertai letupan-letupan khas gunung berapi mengalihkan
perhatian dan fokus kamera saya selama beberapa saat. Namun guide saya
mengingatkan, di depan sana masih banyak yang lebih besar dan menarik.
Baiklah, saya percaya, maka kami melanjutkan berjalan kaki.
Setelah sekitar seperempat tepi danau kami jalani, kami menjumpai
sisi bukit yang seperti terkelupas. Ini sisa letusan yang tetap tidak
ditumbuhi tanaman. Seperti lereng gunung papandayan yang terbelah ketika
letusan tahun 2003, tempat ini juga dipenuhi sumur-sumur lumpur panas
(tapi bukan lapindo) dengan bau khas belerang. Saya mencoba mendaki
sedikit bagian bukit yang gundul, lalu memotret pemandangan telaga dari
atas. Fotonya ada di bawah. Setelah puas memotret, saya mengajak si
guide istirahat sebentar sambil menikmati panorama telaga. Saya lalu
menyodorkan satu dari dua botol minuman kemasan kepadanya, serta
menawarkan makanan kecil dari coklat. Lalu perjalanan diteruskan.
Ketika hampir tiba di tepi danau yang berseberangan dengan tempat
kami datang, terdengar bunyi seperti air terjun dari arah pepohonan.
Ketika didekati, ternyata benar ada air terjun kecil di dekat bekas
bivak yang baru ditinggalkan penghuninya. Di sini tentunya sumber air
minum untuk mereka yang camping. Tidak jauh dari sana terdapat dua kolam
penampungan air panas (panas bukan lagi hangat) serta pancurannya. Di
sini tempat mandi atau berendam, kata guide. Tidak terpikir untuk mandi
apalagi berendam karena selain tidak ada persiapan, temperatur air di
sini melebihi batas toleransi lapisan dermis di badan saya. Belum lagi
ketika melihat ke arah air pancuran mengalir, terdapat setumpuk besar
celana dan celana dalam bekas orang-orang yang mandi dan berendam. Akh,
mengotori gunung dan telaga saja.
Dari sini kami melanjutkan perjalanan melalui jalan setapak di antara
rerumputan yang setinggi badan. Lalu kami menemukan dengan lima orang
yang sedang duduk di sekitar perapian dan sibuk menjagal daging binatang
seukuran kambing muda atau anjing. Tanpa bermaksud mengganggu, kami
hanya permisi dan berlalu, meneruskan perjalanan hingga tiba kembali di
tempat kami memulai mengelilingi danau. Ketika selesai mengelilingi
danau, dua pengendara motor ala trail tiba di telaga, berhenti sebentar
mengamati jalanan, lalu memacu lagi motornya yang meraung memecah
kesunyian suasana telaga sore itu. Ketika itu, kabut telah turun lebih
jauh menutupi pandangan ke arah danau.
Kami berjalan kembali ke arah pos, berbasa-basi dengan penjaga, lalu
berpamitan. Demikianlah cerita dari talaga bodas. Berikut fotonya, dapat
diklik untuk melihat foto yang lebih besar.
0 komentar:
Posting Komentar