Ulama dan Tokoh Penyebar Islam
Membicarakan sejarah
Kab. Garut tidak akan lepas dari Kab. Limbangan yang merupakan cikal
bakal pembentukannya. Peran serta kaum ulama yang menyebarkan Islam
hingga mewarnai corak kehidupan masyarakat Garut pun tak kalah
pentingnya. Tak heran, sebagian kalangan menilai Garut laik dijuluki
sebagai Kota Ulama, karena banyaknya sumbangsih para ulama dalam membina
masyarakat Garut.
Salah satu tokoh ulama sekaligus umara
yang perannya tak bisa diabaikan pada masa awal penyebaran Islam di
pedalaman Jawa Barat, khususnya Garut, adalah Sunan Cipancar. Selain
eksis dalam penyebaran Islam, ia pun merupakan tokoh yang menurunkan
keluarga bupati-bupati Limbangan. Hal itu sebelum kemudian dengan alasan
politis, Limbangan dipindahkan dan berubah menjadi Kab. Garut.
Karena itulah, tak salah jika masyarakat
Garut menziarahi makam Sunan Cipancar di Kp. Pasir Astana, Desa
Pasirwaru, Kec. Balubur Limbangan. Hal itu penting selain sekadar berdoa
dan memberikan penghormatan atas jasa-jasanya dalam menyebarkan Islam,
juga untuk menelisik kembali alur sejarah Kab. Garut, termasuk
pesan-pesan moral yang diamanatkan para leluhur masyarakat Garut
sendiri, dalam menata bangunan kehidupan masyarakatnya.
Sumber resmi Pemkab Garut dan Pemprov
Jabar melalui website-nya menyebutkan, awalnya pemegang kekuasaan
Limbangan adalah Dalem Prabu Liman Senjaya, cucu dari Prabu Siliwangi
dan anak dari Prabu Layakusumah. Prabu Liman Senjaya diganti oleh
anaknya yang bernama Raden Widjajakusumah I alias Sunan Cipancar.
Akan tetapi literatur lain menjelaskan,
yang disebut sebagai Wijayakusumah (I) adalah kakeknya Sunan Cipancar,
yaitu Sunan Rumenggong.
Kab. Limbangan semula merupakan sebuah
kerajaan daerah bawahan Kerajaan Besar Pakuan Pajajaran bernama Kerajaan
Kertarahayu, yang didirikan Sunan Rumenggong di kawasan Gunung
Poronggol Limbangan sekitar 1415 M. Sunan Rumenggong bernama asli
Jayakusumah/Wijayakusumah (I)/Ratu Rara Inten Rakean Layaran Wangi/Jaya
Permana/Gagak Rancang.
Sumber lain menyebutkan, Layakusumah
mempunyai tiga anak dari Ambot Kasih, yaitu Hande Limansenjaya Kusumah;
saudara kembarnya, Hande Limansenjaya; dan adiknya, Wastudewa. Hande
Limansenjaya Kusumah berputra Jayakusumah/Panggung Pakuan Wijaya
Kusumah/Wijayakusumah (II)/Limansenjaya Kusumah, yang belakangan disebut
Sunan Cipancar.
Namun nama Limbangan saat ini tinggal
berupa sebuah wilayah kecamatan, yang ditambahi kata Balubur di depannya
menjadi Kec. Balubur Limbangan. Berbeda dengan makam tokoh penyebar
Islam lainnya di Garut yang mendapatkan cukup perhatian pemerintah,
makam Sunan Cipancar terkesan terabaikan. Padahal makam tersebut
termasuk situs cagar budaya yang memiliki arti penting bagi sejarah,
ilmu pengetahuan, dan kebudayaan.
Dari aspek arkeologi, jirat dan nisan
makam masih memiliki keaslian sebagai tradisi peninggalan megalit. Baru
beberapa tahun belakangan saja makam keramat tersebut mendapat perhatian
dengan mendapatkan bantuan penataan lingkungan makam.
Seperti halnya makam keramat lainnya di
Garut, makam Sunan Cipancar juga kerap dikunjungi para peziarah dari
berbagai daerah. Sebagai tata krama, para santri yang ada di kawasan
Balubur Limbangan dan sekitarnya, bahkan sering memulai perjalanan
ziarah dari makam Sunan Cipancar. Sebelum kemudian berziarah ke makam
Mbah Wali Syekh Ja’far Shiddiq Cibiuk dan sejumlah makam keramat
lainnya. Puncak kunjungan ziarah biasanya terjadi pada bulan Mulud. ***
(zaenul mukhtar/”Gala Media”)
0 komentar:
Posting Komentar