Oleh : Reza Sukma Nugraha
Adalah
sebuah pohon bernama cangkuang yang telah mengilhami nama sebuah desa
di utara Kabupaten Garut, Jawa Barat. Desa dengan kondisi geografis khas
dataran tinggi ini adalah salah satu dari sekian banyak objek wisata di
Tatar Parahyangan. Setidaknya, terdapat tiga objek yang memesona para
wisatawan untuk berkunjung ke desa ini. Candi Cangkuang, makam Embah
Dalem Arif Muhammad, dan rumah adat Kampung Pulo.
Setiap
wisatawan memiliki motif dan tujuan yang berbeda-beda saat berwisata di
Cangkuang. Para peziarah melakukan wisata religi, dengan berziarah ke
makam-makam keramat yang terdapat di Kampung Pulo. Umat Hindu tentu
ingin mengunjungi candi Cangkuang dan patung Dewa Syiwa yang terletak di
dalamnya. Ada pula wisatawan yang lebih senang mengunjungi rumah adat
di Kampung Pulo. Mereka mengamati keenam rumah dengan arsitektur khas
ini dengan pendekatan yang berbeda. Bahkan ada pula yang hanya ingin
menikmati pemandangan sekitar Situ Cangkuang dan berkeliling pulau
dengan sebuah rakit yang disebut getek.
Bagi
para filolog, Cangkuang menarik karena menyimpan manuskrip yang ditulis
oleh Embah Dalem Arif Muhammad yang dipercaya penduduk sekitar sebagai
penyebar agama Islam di Tanah Garut. Seluruh manuskrip yang tersimpan di
museum Cangkuang ini sering dijadikan objek penelitian para peneliti
maupun para akademisi. Manuskrip tersebut berupa naskah khutbah Jumat
terbuat dari kulit kambing, naskah khutbah Idul Fitri terpanjang di
Indonesia, Al-Quran dan kitab lainnya yang terbuat dari kayu saih.
Embah Dalem Arif Muhammad, Sang Panglima Mataram
Konon,
penduduk Cangkuang masih memeluk kepercayaan animisme dan dinamisme.
Sebagian lainnya beragama Hindu. Hingga datanglah Arif Muhammad yang
secara perlahan mengajarkan Islam di desa tersebut. Menurut Zaki
Munawwar, pengelola sekaligus juru bicara museum Cangkuang, Arif
Muhammad adalah panglima perang dari kerajaan Mataram. Ia diutus Sultan
Agung untuk mengusir VOC di Batavia pada 1645. Kemudian Arif Muhammad
berangkat menuju Batavia untuk menyerang VOC. Sayangnya, Arif Muhammad
beserta pasukannya berhasil ditekuk mundur.
Kegagalan
Arif Muhammad membuatnya malu untuk kembali ke Mataram. Selain itu, ia
takut Sultan Agung akan membunuhnya apabila ia tahu Arif Muhammad
kembali dengan membawa kegagalan. Oleh karena itu, Arif Muhammad
memutuskan untuk mengasingkan diri. Garut, dipilihnya sebagai tujuan.
Selain itu, ia berniat menyebarkan agama Islam di daerah Parahyangan
Timur. Awalnya, ia berdakwah di daerah Tambak Baya.
Beberapa
waktu kemudian, Arif Muhammad berpindah ke tempat lain. Adiknya
kemudian meneruskan dakwahnya di Tambak Baya. Sedangkan Arif Muhammad
berdiam di sebuah kampung di desa Cangkuang. Kini di desa tersebut
terdapat danau kecil atau situ. Kampung tempat tinggal Arif Muhammad terpisah dan membentuk pulau. Lantas, kampung tersebut dinamai Kampung Pulo.
Arif
Muhammad menikah dan memiliki tujuh orang anak, enam perempuan dan satu
laki-laki. Namun hingga saat ini, belum diketahui istri dan silsilah
keturunan Arif Muhammad. Cerita yang berkembang saat ini hanya
disampaikan dari mulut ke mulut. Penduduk sekitar menjuluki Arif
Muhammad dengan nama Embah Dalem Arif Muhammad.
Kampung Pulo dan Kearifan Lokal yang Terjaga
Salah
satu jejak peninggalan Embah Dalem Arif Muhammad adalah tujuh bangunan
di Kampung Pulo. Konon, bangunan tersebut digunakan untuk tempat tinggal
ketujuh anaknya. Rumah dengan ukuran yang sama terletak berderet dan
berhadapan. Tiga rumah berderet sebelah selatan menghadap tiga rumah
lainnya di sebelah utara. Di ujung barat terdapat sebuah mushala yang
berhadapan dengan halaman luas yang membelah deretan rumah tersebut.
Setiap rumah memiliki ruangan yang sama: serambi, satu ruang tamu, satu
kamar tidur, satu kamar tamu, dapur, dan gudang.
Kini,
ketujuh bangunan tersebut merupakan simbol. Enam rumah menandakan anak
perempuan Embah Dalem Arif Muhammad. Sedangkan satu mushala menandai
anak laki-lakinya. Meskipun, sampai saat ini, belum diketahui silsilah
keturunan Arif Muhammad dan kehidupan keluarganya.
Keunikan
lainnya, yaitu pada jumlah keluarga yang menghuni rumah tersebut.
Setiap rumah hanya diperbolehkan dihuni oleh satu kepala keluarga.
Artinya, apabila ada anggota keluarga yang menikah dan berkeluarga, maka
ia harus segera meninggalkan Kampung Pulo, maksimal dalam waktu dua
minggu. Apabila kepala keluarga meninggal, maka hak waris jatuh pada
perempuan. Hal ini dikarenakan, sistem kekeluargaan penduduk Kampung
Pulo bersifat matrilineal.
Hingga
saat ini (April 2009), Kang Zaki—sapaan akrab Zaki Munawwar—mengatakan,
jumlah penduduk Kampung Pulo mencapai 22 orang. Sebelas laki-laki dan
perempuan. Mereka bermatapencaharian petani dan pencari ikan. Setelah
Kampung Pulo menjadi objek wisata, 95% perempuan penduduk Kampung Pulo
menjadi pedagang. Tidak terdapat lapisan-lapisan masyarakat dalam
struktur sosial di Kampung Pulo. Hanya saja, ada satu orang yang
dipercaya penduduknya untuk menjadi kuncen atau juru kunci. Tugas juru kunci adalah menyambung lidah para peziarah dan roh-roh keramat. Pak Atang adalah kuncen Kampung Pulo saat ini.
Masyarakat Kampung Pulo tidak diikat oleh hukum tertulis. Mereka hanya mengenal pamali
sebagai istilah melanggar pantangan. Pantangan di Kampung Pulo harus
dipatuhi penduduk itu sendiri maupun para wisatawan yang datang.
Pertama.
Tidak boleh berziarah pada hari Rabu. Hal ini disebabkan pada hari
Rabu, Embah Dalem Arif Muhammad tidak mau menerima tamu, kecuali untuk
belajar ilmu agama dan mengaji. Oleh karena itu, saat ini wisatawan
tidak diperkenankan berziarah pada hari Rabu. Batas waktu hari Rabu,
menurut kepercayaan penduduk Kampung Pulo, adalah ba’da Ashar di hari Selasa hingga ba’da Ashar di hari Rabu. Hal tersebut didasari perhitungan waktu dalam Islam.
Kedua. Tidak boleh membuat rumah beratap jure.
Atap rumah harus tetap dibiarkan memanjang. Lalu dilarang menggunakan
gong besar yang terbuat dari perunggu di setiap acara. Kedua larangan
tersebut disebabkan cerita pada masa lalu. Konon, saat acara khitan anak
laki-laki Embah Dalem Arif Muhammad, anak tersebut diarak menggunakan
tandu berbentuk rumah-rumahan beratap jure. Pada acara tersebut juga terdapat gong
besar yang terbuat dari perunggu yang digunakan untuk hiburan.
Tiba-tiba sebuah angin topan memorakporandakan acara tersebut. Anak
laki-laki Embah Dalem Arif Muhammad pun jatuh dan meninggal seketika.
Ketiga.
Di Kampung Pulo dilarang memelihara binatang ternak berkaki empat,
seperti: kambing, kerbau, dan sapi. Menurut Kang Zaki, terdapat dua
dugaan. Pertama, karena binatang ternak dikhawatirkan mengotori lingkungan setempat dan makam-makam keramat. Kedua,
pada awalnya masyarakat masih memeluk agama Hindu. Sedangkan pemeluk
Hindu memuja sapi. Dikhawatirkan pula, masyarakat sulit melepas
kepercayaan itu.
Selain
ketiga pantangan di atas, masih banyak hukum adat yang masih dijunjung
tinggi penduduk setempat. Meskipun arus modernisasi lambat laun
memengaruhi perilaku masyarakat Kampung Pulo, mereka tetap memegang
teguh seluruh pantangan yang berlaku tersebut. Arus modernisasi itu
sendiri, salah satunya akibat dari dijadikannya Kampung Pulo sebagai
objek wisata yang banyak dikunjungi orang luar daerah.
Manuskrip Karya Embah Dalem Arif Muhammad
Embah
Dalem Arif Muhammad, sebagai tokoh penyebar Islam di wilayah Parahyangan
Timur memperkaya khazanah kebudayaan dengan seluruh tulisannya.
Tulisannya tersebar di berbagai daerah di Garut, seperti Leles dan
Kadungora. Umumnya, pemilik naskah mengklaim masih keturunan Embah Dalem
Arif Muhammad.
Saat
peresmian Candi Cangkuang pada tahun 1976, dengan ditandai selesainya
pemugaran candi (1974-1976), pemerintah melalui instansi terkait
berinisiatif mengumpulkan seluruh aset budaya berupa karya-karya Embah
Dalem Arif Muhammad dan menghimpunnya dalam museum yang dibangun
berhadapan dengan candi dan makam Embah Dalem Arif Muhammad. Kebanyakan
masyarakat saat itu bersedia memberikan naskah tersebut agar lebih
terawat dan terjaga. Masyarakat Kampung Pulo mengaku memberikan naskah
tersebut secara cuma-cuma, tidak seperti orang diluar Kampung Pulo yang
mereka duga harus diberi kompensasi berupa materi terlebih dahulu.
Namun,
ada pula pemilik naskah yang enggan memberikan naskah tersebut pada
meseum. Hal tersebut biasanya dikarenakan kandungan mistik yang
dipercaya memberikan efek magis tertentu bagi pemilik naskah.
Manuskrip
yang tersimpan di museum Cangkuang di antaranya: khutbah Jumat yang
terbuat dari kulit kambing, kitab fiqih, khutbah Idul Fitri terpanjang
di Indonesia, Al-Quran yang ketiganya terbuat dari kayu saih.
Kang Zaki menambahkan, ada dua kemungkinan untuk tempat penulisan naskah-naskah tersebut. Pertama, seluruh naskah ditulis Embah Dalem Arif Muhammad saat berdakwah di Cangkuang. Kedua,
bisa jadi naskah tersebut ditulis sejak Embah Dalem Arif Muhammad masih
di Mataram. Hal tersebut dikarenakan naskah tersebut diterjemahkan ke
dalam Bahasa Jawa, bukan Sunda.
Al-Quran Abad XVII M
Salah
satu manuskrip yang terdapat di museum Cangkuang adalah Al-Quran dan
terjemahannya dalam Bahasa Jawa dengan tulisan Arab Pegon. Ukurannya 24 x
33 cm. sedangkan teksnya berukuran 16 x 25 cm. Al-Quran tersebut tidak
memiliki penomoran halaman.
Al-Quran
yang terbuat dari kayu saih ini ditulis dengan dua warna tinta, yaitu
hitam dan merah. Teks Al-Quran ditulis dengan tinta hitam, sedangkan
tinta merah digunakan untuk menandai nama surat. Uniknya, menurut Jiji
Muharji, salah satu pengelola museum, tinta merah itu berasal dari serat
buah manggis.
Namun
Al-Quran ini hanya memuat 22 surat yang terdiri dari 9 juz. Dimulai
dengan surat An-Nahl dan diakhiri Surat Shad. Naskah terdiri dari 12
kuras dan memiliki 143 halaman.
Naskah
berusia lebih dari 400 tahun ini udah rapuh dan lusuh. Lembarannya
penuh lubang kecil terkena jamur. Bahkan jilidnya rusak dan judulnya
tidak terbaca. Hal tersebut dikarenakan manuskrip di musem Cangkuang,
termasuk Al-Quran ini, masih belum dirawat secara intensif.
Hingga saat ini, perawatan seluruh manuskrip masih menggunakan cara-cara sederhana. Seperti menggunakan silica gel
yang diberikan peneliti yang datang, lalu dibersihkan dengan kuas, dan
menggunakan rempah-rempah alami untuk menghilangkan jamur.
Penelitian dan Harapan Pengelola
Museum
Cangkuang banyak dikunjungi para peneliti naskah. Mulai mahasiswa yang
melakukan penelitian sederhana hingga filolog yang concern
terhadap manuskrip peninggalan Embah Dalem Arif Muhammad. Namun hingga
saat ini, pengelola museum mengaku belum dilakukan penelitian secara
mendalam sehingga pengelola pun kesulitan menjelaskan kandungan isi
naskah pada pengunjung.
Rupanya,
harapan tersebut akan segera terwujud dengan penelitian yang dilakukan
oleh tim peneliti dari Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Djati
Bandung. Dedi Supriyadi, filolog sekaligus dosen Sastra
Arab berjanji, tim akan menerjemahkan naskah tersebut untuk mempermudah
proses sosialisasi naskah dan kandungannya. Hal tersebut juga penting
dilakukan untuk mengungkap rahasia lain dari manuskrip peninggalan Embah
Dalem Arif Muhammad tersebut. Misalnya, tim peneliti telah
mengungkapkan bahwa naskah yang sebelumnya disebut naskah khutbah Jumat
ternyata belakangan diketahui adalah khutbah Idul Fitri. Hebatnya,
naskah tersebut merupakan naskah khutbah Idul Fitri terpanjang di
Indonesia!
0 komentar:
Posting Komentar